Produk domestik bruto (PDB) Indonesia di triwulan I menandai awal lemah tahun 2020 karena pertumbuhan melambat jadi 3 persen yoy (5 persen pada 2019). Ekonom DBS Group Research Radhika Rao mengamati ini adalah pertumbuhan terlemah sejak akhir 2001 dan lebih dalam ketimbang perlambatan pasca GFC. "Lebih banyak indikator (perlambatan) ekonomi disebabkan ekspor April, penjualan ritel, kepercayaan konsumen, indeks PMI, impor barang modal, dan lain lain. Cenderung rendah pada April dan kemungkinan Mei," kata Radhika dalam keterangannya, Selasa (16/6/2020).
"Dengan begitu, penurunan pada triwulan II 2020 akan lebih dalam sebelum terjadi tren berubah di semester kedua," tambah dia. Radhika mengumpulkan beberapa data frekuensi tinggi dalam grafik data Google bahwa terjadi kenaikan harga menjelang minggu ketiga Mei. "Ini kemungkinan dipengaruhi oleh Idul Fitri. Setelah itu, pergerakan harga menurun," jelasnya.
Faktor lainnya yakni penjualan sepeda motor turun lebih dari 70 persen pada April, Mei masih tetap lemah, Juni tidak terlalu negatif. Sebelumnya, kebijakan fiskal pemerintah antara lain bantuan ekonomi melalui pengeluaran biaya perawatan kesehatan lebih tinggi, perluasan cakupan skema kesejahteraan, keringanan pajak, dan lainnya. Selain dua paket fiskal pertama senilai Rp33,2 triliun, paket tambahan sebesar Rp 405 triliun telah direncanakan, yang hingga saat ini telah diperluas menjadi Rp677,2 triliun (4,2 persen).
Adapun target defisit juga dinaikkan menjadi 6,34 persen dari PDB dibandingkan dengan di bawah 3 persen dari PDB tahun 2019. "Revisi ini lebih rendah terhadap ramalan resmi pemerintah, yang sebesar 2,3 persen ( 0,4 persen kemungkinan terburuk), mungkin membutuhkan dorongan siklus fiskal penyeimbang, dan dengan demikian semakin memperlebar defisit," pungkasnya.